Suatu hari di India yang panas.
Ditawari Cobra di India , merupakan pengalaman yang berkesan bagi saya.
“Lihatlah sebentar, Om, please!” Suara cempreng itu berhasil menghentikan langkah setengah berlari saya menuju bus yang sedari tadi sudah menunggu. Perawakan ceking, kulit cokelat gelap, kumis yang tumbuh tak teratur, dan tatapan mata pemuda yang barusan memelas itu seakan-akan mengumumkan kontradiktivitas negeri itu: India yang bening dan indah di layar kaca itu adalah fana! Fana, Kawan!
“Hurry up! Hurry up!” kernet bus meninggikan nada teriakannya. Sebagaimana pemuda ceking yang sedang berdiri di dekat saya, logat bahasa Inggris awak bus itu kental sekali rasa India-nya.
“Oke, apa yang kamu tawarkan?” Tentu saja bahasa Inggris saya tidak berlogat Bollywood. Saya mengangkat tangan kanan ke arah bus, memberi kode agar kernet itu bisa bersabar.
Pemuda ceking itu membuka penutup semacam wadah anyaman yang sedari tadi dibawanya. Saya yang awalnya penasaran dengan barang yang ia jajakan, refleks mundur beberapa langkah.
“F**k!” Saya refleks memaki
. Bagaimana bisa ular cobra dijajakan di pinggir jalan seperti ini? Saya benar-benar syok sehingga kesulitan mengucapkan sepatah kata pun.
“Belilah, Tuan. Saya belum makan tiga hari ini!” Kali ini bibirnya tampak pucat. Apakah pucat itu disebabkan kelaparan dan kehausan yang menderanya atau hanya perasaan dan pandangan seseorang yang sedang berempati saja, saya tak ambil peduli.
Baru saja saya
akan merogoh saku celana, kernet bus kembali meminta saya bergegas. Teriakannya benar-benar mengintimidasi. Saya mulai kesal. Seraya menghela nafas, tatapan saya tajam menghunjam ke sekujur tubuh laki-laki yang berdiri di muka pintu bus bagian depan. Saya rada jengkel.
Saya pikir kernet itu memahami bahasa mata saya barusan, tapi saya keliru. “Jangan terpedaya, Tuan! Banyak sekali orang seperti dia di Mathura! Apalagi saat Festival Holi!” Teriakannya makin menjadi-jadi dan makin memuakkan!
Saat itu saya dan rombongan batu saja selesai terlibat dalam Festival Holi di Vridavan yang berada di bawah distrik Mathura. Setelah merasakan keseruan saling menyiram bubuk warna ke pakaian dan bagian tubuh orang-ora
ng yang terlibat dalam perhelatan yang diselenggarakan ketika bulan purnama itu, saya pikir, sedikit beramal untuk remaja India tentu tidak akan mengurangi kegembiraan.
“Saya tetap akan memberinya beberapa rupe!” Teriak saya pada kernet itu. Saya pikir ia kini tahu bagaimana ekspresi saya kalau sedang amarah.
Kernet itu mendadak terdiam
“Tapi maaf, saya tidak bisa membawa ularmu!” ujar saya pada pemuda ceking itu ketika beberapa rupee di tangan saya sudah beralih ke tangannya.
Ia menggeleng-gelengkan kepala dengan wajah yang mulai sumringah. Orang-orang India memang lebih sering menggelengkan kepala untuk mengatakan “Iya” atau jawaban sejenis. “Terimakasih banyak, Tuan! Semoga perjalanannya menyenangkan!” ujarnya sambil berlalu. Wajahnya kini benar-benar sumringah.
Di dalam bus, doa pemuda ceking atas keselamatan perjalanan ini, entah mengapa, membuat hari saya menjadi lebih menyenangkan.
Dari balik kaca bus yang dibuka, saya mendongak. Dahi saya mengernyit saking panasnya cuaca hari itu. Namun langit Vridavan masih memesona. Membentang biru dengan awan-gemawan di sekitarnya.
Di Jaipur nanti, saya berharap menemukan kejutan yang lain. Tentu bukan ular kobra. Penduduk yang ramah, harga makanan enak di bawah rata-rata, atau bahkan berkenalan dengan gadis India seperti di film-film itu, tentu sudah lebih dari cukup ….*
Incridible India, Maret 2018